Dari Pameran Mata Perempuan Ruang Publik (tidak) untuk Perempuan Dua orang teman menemui saya selepas mengikuti pembukaan pameran Mata Perempuan di Taman Ismail Marzuki, selasa 2 Desember 2008 .

Kedua teman saya ini nampaknya sedikit menemukan kekecewaanya setelah menyaksikan foto-foto yang di pamerkan. Menurut mereka, foto-foto yang dipamerkan kurang menunjukkan spesifiknya atau kekhasan dari persoalan perempuan, apalagi tema utamanya adalah pada persoalan perkotaan yang seyogyanya banyak cerita yang bisa diungkapkan. ”kalo menampilkan aspek yang umum-umum sih tidak harus fotografer perempuan, kalo foto-foto kehidupan sosial yang umum saja, banyak fotografer yang sudah melakukannya,” ujar salah satu teman.

Saya kira komentar kedua teman saya ini menarik. Sebagai sebuah apresiasi saya bisa mengerti apa yang mereka bayangkan dari pameran fotografi yang diberi tajuk Mata Perempuan. Bahkan saya sejak awal sudah berpikir akan menemukan hal-hal yang lebih spesifik terkait dengan penglihatan fotografer perempuan. Bayangan saya, sejumlah fotografer perempuan itu akan mengungkap kehidupan perempuan perkotaan, yang tentunya sarat dengan sejumlah persoalan.

Sayapun sempat mengalami situasi berbeda ketika akhirnya masuk, karena memang diluar bayangan semula. Sama seperti kedua teman saya, saya tidak menemukan perbedaan khas dari sisi perempuan dalam kehidupan perkotaan. Hampir semua foto yang ditampilkan adalah potrait kehidupan yang umum dan memang sudah banyak ditampilkan oleh sejumlah fotografer. Lalu apanya yang berbeda dari pameran fotografi Mata Perempuan ini?

Menurut saya, pada cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan cara pandang perempuan kepada kehidupan dan masyarakatnya. Perempuan dalam masyarakat masih belum bisa diberi ruang untuk melihat segala sesuatunya secara luas. Ruang perempuan sejauh ini masih terbatas pada persoalan-persoalan domestik, menginggat ruang publik masih menjadi dominanasi patriakhi. Ruang publik yang seharusnya menjadi hak semua pada kenyataanya tidak berlaku bagi perempuan. Pada akhirnya, perempuan hampir tidak punya ruang untuk mendefinisikan ruang publik dalam kacamatanya. Dalam berbagai kasus, ruang publik justru sengaja meminggirkan perempuan. Perda di Tangerang misalkan, yang substansi isinya melarang perempuan keluar malam di berbagai tempat adalah bentuk pembatasan perempuan atas ruang publik. Penerapan perda Syariat Islam dan sejumlah kebijakan Syariat Islam yang melakukan operasi terhadap perempuan berjilbab adalah fakta bagaimana perempuan tidak menemukan ruangnya dalam kehidupan publik. Perempuan boleh ada di ruang publik, tetapi perempuan harus mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan secara patriakhis. Aspek kedua dari sisi menariknya Pameran ini, perempuan tidak sekedar punya hak terhadap ruang publik, tetapi perempuan juga punya pandangan sendiri terhadap kehidupan masyarakat. Perempuan sering tidak punya kesempatan untuk menjelaskan persoalan publik. Perempuan dianggap tidak tahu apa-apa terhadap kehidupan sosial politik masyarakat. Pandangan-pandangan sosial lebih di dominasi oleh laki-laki, yang terkadang sering terjadi distorsi.

Pameran ini secara substansi memberikan ruang bagi perempuan untuk juga bisa memberi pandangan tentang situasi sosial masyarakat. Dalam kerangka itu, karya delapan fotografer perempuan ini sebenarnya mengajarkan bagaimana perempuan bisa merebut dan mendefinisikan ruang publik dengan perspektifnya. Perempuan juga sah untuk menjelaskan kehidupan publik, ke khalayak. Pameran foto Mata Perempuan kali ini mengambil tajuk Ruang Perempuan. Delapan fotografer perempuan yang terlibat dalam aktivitas ini antara lain : Aiko Urfia Rakmi, Cristina Phan, Evelyn Pritt, Ruth Hesti Utami, Julia Sarisetiati, Keke Tumbuan, Malahayati dan Stephany Yaya Sungkharisma.